Resensi Film: Si Doel Anak Modern


Resensi Film: Si Doel Anak Modern
Menertawakan Modernitas

Pada tanggal 27 Maret 2012 lalu, saya menonton film Si Doel Anak Modern di Subtitle, Dharmawangsa Square. Film tersebut merupakan buah karya sutradara beken Sjuman Djaja pada tahun 1976. Film ini diputar dalam rangka memperingati Bulan film Nasional (BFN) yang bertajuk Sejarah Adalah Sekarang 6. Program ini diselenggarakan oleh Kineforum dan merupakan bagian dari agenda “Kami Membaca Sjuman Djaja.”

Si Doel Anak Modern merupakan film komedi yang berkisah tentang anak Betawi kampung. Doel  yang berada di tengah modernitas terseok-seok karenanya. Begini ceritanya. Doel (Benyamin S.) anak Betawi Bogor yang baru lulus sekolah. Ia  dijodohkan oleh emaknya dengan menyodorkan anak gadis untuk dipilih. Namun, ia selalu menolak. Doel ingin sukses terlebih dahulu, baru berpikir untuk menikah. Doel berencana untuk mengikuti kesuksesan temannya, Sapii (Farouk Afero), seorang  pengusaha jual-beli mobil  di Jakarta. Rencana si Doel dituruti oleh emaknya, tanahnya di daerah Pasar Minggu dijual untuk modal usaha. Sebenarnya, kepergian Doel ke Jakarta, dibarengi pula dengan hasratnya untuk bertemu teman masa kecilnya dan pujaan hatinya, Nonon (Cristine Hakim). Jadilah Doel pergi ke Ibukota demi kedua cita-citanya tersebut.

Di kota, Doel harus menjadi modern untuk bisa bertemu dengan Kristin, nama ngetop Nonon yang telah menjadi peragawati. Jadilah Doel bergaya kriting-kribo dan bersetelan trendi, cerminan anak modern yang juga gaya Achmad ([Ahmad Albar] tunangan Kristin, seorang vokalis band). Ketika Kristin kecewa terhadap Achmad yang selalu selingkuh, Doel selalu kebetulan hadir menghibur. Jadi, ada tarik menarik antara Kristin dengan Achmad; dan Kristin dengan Doel. Doel sebagai pemuda yang naif, menyangka bahwa perlakuan Kristin kepadanya merupakan tanda cinta. Ketika Kristin sedang gundah-gulana, Doel dengan polosnya menyatakan ingin melamarnya. Tanpa sadar, Kristin mengiyakan ajakan tersebut. Alhasil, keesokan harinya, Doel datang beramai-ramai dengan orkes tanjidor demi melamar Kristin. Kristin kaget dan terpaksa menolaknya.   Hal ini membuat Doel gamang, dan akhirnya mengalami kecelakaan ketika mobilnya terperosok ke jurang kali. Akhirnya, di rumah sakit,  Doel kapok dan tidak ingin menjadi modern lagi. Tapi, tiba-tiba datang Kristin, Doel pun menarik perkataannya tersebut dan berlarian menjemput Kristin.

Menonton Si Doel Anak Modern layaknya disuguhi minuman mewah bernama “modern.” Minuman yang amat menyilaukan. Barangsiapa meminumnya, terangkatlah ia dari comberan becek penuh lumpur. Meskipun, lumpur tersebut sebenarnya subur. Itulah modern yang saya tangkap dari film karya Sjuman Djaja ini. Isu tersebut sangat kental teraduk dalam film bergenre komedi.

Modernitas inilah yang nampaknya disorot oleh sang sutradara. Hal ini dapat dilihat dari omelan Doel tentang perilaku orang modern yang seenaknya saja gonta-ganti bini, ngerebut bini orang, berbini banyak, dan berbini muda. Selain itu, muncul pula dalam peristiwa yang Doel alami seperti: Doel mengubah gaya berpakaian, makan steak dan minum bir di Hotel Indonesia, dan mengikuti dansa-dansi ala Barat, meski Doel terlihat kewalahan mengikuti semua itu.

Menurut saya, Sjuman Djaja (melalui film komedi) mengajak penonton untuk menertawakan kemodernan. Akhir kata, menonton film Doel, membuat saya, sebagai manusia yang hidup di abad ke-21,  tersadar: Ternyata saya orang kampung yang sok modern seperti Doel?



Damar Sasongko, Kp. Makassar 2012

Posting Komentar